Di pantai Pangandaran

Di pantai Pangandaran

Rabu, 01 Agustus 2012

Kisah Andi

Rhomadhan ... Embun pagi di Al- Zaytun
Pagi yang dingin menyelimuti Ma’had Al-zaytun, disana sini pepohonan rindang dibasahi embun, tadi malam hujan lebat. Jendela sekretariat sudah dibuka, angin sepoi-sepoi melalui celahnya. Di kursi tamu duduk termenung seorang pria, ia baru tiba dari Samarinda.

Seorang petugas sekretariat menyapa “Ada yang bisa saya bantu, pak ?” pria itu mejawab “Saya Hamzah wali santri dari kalimantan”.. Dengan berkaca-kaca, ia menjelaskan kepada petugas sekretariat bahwa istrinya telah meninggal dunia satu bulan yang lalu, dan berita ini belum disampaikan kepada anaknya yamg bernama Andi, ia duduk di kelas 7 CA1, ia menjelaskan bahwa anaknya mempunyai jiwa yang halus, dan masih kekanak-kanakan, Andi anak nomor dua dari empat bersaudara, sangat dekat dengan ibunya. Pak Hamzah khawatir akan terjadi keguncangan jiwa pada diri Andi jika ia memahami keadaan ibunya. Kepada petugas sekertariat ia memohon untuk dapat menjelaskan berita kematian istrinya secara langsung ke pada anaknya.

Petugas sekertariat menyarankan, sebelum bertemu dengan Andi, agar menemui wali kamarnya dahulu yaitu Ustd Wahyu, karena beliau sangat memahami perkembangan mental dan permasalahan santri di kamar tersebut. Setelah bertemu Ustd Wahyu, Pak Hamzah menjelaskan secara hati–hati tentang kondisi keluarganya dan keterikatan batin antara Andi dan ibunya. Ia sangat memohon kepada ustad Wayu agar bersedia memberikan pemahaman dan kekuatan moril kepada anaknya. Ustd Wahyu dengan gagah langsung menyanggupi “saya akan menyampaikan amanat bapak, Andi sudah saya anggap anak sendiri, mari bersama-sama kita memberikan pemahaman kepada Andi, agar ia ikhlas menerima keadaan ini” Tampak raut ketenangan di wajah Ayah Andi

Di kamar 329 Asrama Al-Fajar, siang itu seluruh santi sedang bercengkrama. Melihat Ustd Wahyu datang, seluruhnya memberikan salam. Dengan senyum khasnya dijawab salam santrinya, seraya berkata “Ayo kita kumpul ! Ada yang akan ustad ceritakan,” serentak mereka berkumpul membuat lingkaran di ruang belajar, dengan meletakan tangannya di atas meja bundar dengan rapi, mereka mulai berkonsentrasi untuk mendengarkan cerita, kemudian ustd Wayu bercerita tentang sejarah Rasul Muhamad SAW. Sang rosul yang dengan sabar dan tabah menghadapi rintangan dan cobaan, walaupun sejak kecil ditinggal orang tuanya. semua khusuk menyimak cerita, kadang serius, kadang tersenyum, kadang mereka menegakan tubuh dengan gagah mengikuti alur cerita. “Di dunia ini tiada yang abadi, keabadiaan hanya milik Ilahi, kepada-Nya kita kembali,” demikian Ustd Wahyu menutup cerita, seraya berkata “Oh Ustd hampir lupa, Andi tadi ada ayah kamu di Managemen Asrama 130, mari kita temui bersama-sama.”

Andi melonjak riang, kemudian ia menyalami teman-temannya dengan salam ”toss”. Sambil berlari kecil ia meninggalkan teman-temannya dan berteriak “Oleh-oleh? Beres semuanya kebagian!” Saat bertemu Ayahnya, Andi dengan takjim mencium tangan ayahnya, dan dengan gembira mencium kedua belah pipi Ayahnya. Sementara Ayahnya membelai-belai rambut Andi penuh kasih sayang. Sambil bergandengan mereka menuju danau Al-Kaustar, di tepi mesjid Al-Hayat. Sementara itu Ustadz Wayu mengikuti dari belakang.

Di tepi danau Ayah Andi mengajak anaknya duduk-duduk sambil sesekali melempar makanan untuk ikan-ikan yang ada di tepi danau “Kemari nak duduk rapat dengan ayah” Andi pun merapatkan duduknya, sementara Ayahnya meletakan tangannya di bahu anaknya. Keduanya tampak terdiam memandang kearah danau Al-Kaustar yang berona biru.

Di atas danau burung-burung merpati terbang kian kemari, sedang di tepi danau, beberapa orang tua santri sedang bercengkrama dengan anaknya, lengkap ayah dan ibu. Tampak pula kecipak air danau, karena seekor angsa sedang memainkan gemercik air mancur putih yang diterpa angin, sesekali kepalanya dimasukan ke air mencari mangsa, sesekali ditengadahkan, kemudian meluncur kembali.Sang angsa bermain dengan gembira kian kemari lalu menepi.

Tampak Pak Hamzah meneteskan air mata melihat angsa itu bermain sendirian. Direngkuh erat bahu anaknya, tanpa berkata-kata, lama tidak dilepaskan. Andi tampak perlahan menggerakan tubuhnya menatap ayahnya dan bertanya “Ayah ada apa? Kok meluk Andi erat-erat, loh kenapa ayah menangis?” Ayahnya kembali mendekap Andi. Ustd Wahyu memalingkan wajahnya dan mengambil saputangan dari kantung celananya.

“Ayah, ada apa ?” Andi yang baru berusia 12 tahun, bertanya kembali. Sang Ayah diam, perlahan melepaskan tangannya, ditatap wajah anaknya, bersih, lugu dan gagah namun tampak sedang keheranan. “Ada apa sih yah ?” Andi tidak sabar, bertanya kembali.

Ayahy Andi berkata “ Nak maafkan Ayah, sudah 5 bulan tidak menjengukmu.” Dengan tangkas andi menjawab “Ah Ayah, tidak apa-apa yah, saya sudah besar, sudah bisa jaga diri, tak dijenguk pun tak apa-apa.”Sambil menepuk dadanya. “Ibumu sakit!” Kata sang ayah lirih. Andi terdiam, ditundukkan wajahnya, kemudian berkata “Bagaimana keadaan ibu sekarang yah, sudah sembuh?” Sang ayah terdiam, diusap-usap rambut anaknya, dilekatkan kepala anaknya ke dadanya, ia menatap ke tepi danau melihat angsa yang masih bermain sendirian, “Nak, Ibumu sudah meninggal.”

Andi diam disandarkan dirinya, dirapatkan wajahnya ke dada ayahnya, ditahan air matanya agar tidak keluar, tampak bergetar tubuhnya menahan tangis. Merasakan Andi menahan tangis, Sang Ayah pun menahan getaran tubuhnya, menahan tangis, namun ayah andi tak kuasa menahan hatinya, tak kuasa membendung air matanya, semakin dibedung semakin menetes air matanya, didekap erat anaknya, digenggam jemarinya. Mereka larut, bersatu. Andi tetap menahan tangisan, menahan kesedihan, tak ada air mata diwajahnya. Lama Andi didekap ayahnya, sang ayah tak mampu menahan kesedihan. Teringat betapa dekatnya Andi dengan bundanya, dan kini harus merantau jauh ke pulau sebrang untuk menuntut ilmu. “oh..anakku. Sabar ya nak..” Ayah menangis terisak.

Andi berkata lirih “Yah, Ayah jangan nangis, jangan bersedih, Andi nati jadi sedih yah, kasihan Ibu, jika kita tangisi lagi, ibu nanti sedih, ibu sekarang sudah tenang disisi Allah yah, ibu kan baik, pasti diterima Allah, kita harus tabah menghadapi pejalanan hidup ini, jangan kita tambah kesedihan ini Yah, Rosulullah Muhamad SAW pun mengalami hal ini, dan ia tabah dan sabar menghadapi cobaan ini, iyakan ustad? Andi sedikit berteriak bertanya. Ustad Wahyu menganguk sambil memalingkan kembali pandangannya ke danau, kemudian mengusapkan saputangan ke wajahnya.

Semakin deras air mata sang Ayah, kemudian ia memeluk anaknya lebih erat. Andi tetap berusaha menahan tangis, matanya merah, wajahnya merah, dirapatkan bibirnya dirapatkan gigi–giginya. Desah nafasnya bergerak cepat Ia membiarkan ayahnya memeluknya.

Lembayung senja di ufuk barat merambat turun, sesaat Andi berkata lirih “Yah”, “ada apa nak” sahut sang ayah, “mari kita sholat ghaib untuk Ibu. Agar Allah menerimanya dan menempatkannya disisiNya”, Keduanya melepaskan rangkulan, menuju ke mesjid. Ustad Wahyu melihat ke pepohonan jati emas, berdiri merunduk mengusap air matanya di tepi pohon akasia.

Sore pun menjelang, di langit awan mulai tebal, matahari mulai tak nampak. yang ada hanya bias sinar berona kelabu pertanda akan turun hujan. Andi mohon pamit untuk kembali ke asrama.

Saat perpisahan ia berkata “Ayah kini tak perlu lagi menjenguk, nanti Andi saja yang menjenguk saat liburan, saya pulangnya bersama kooedinator saja yah. Sekarang lebih baik Ayah menjaga adik di rumah, kasihan adik, tidak ada yang menjaga, tidak ada Ibu lagi yah, salam untuk adik-adik, jangan nakal, harus sayang kepada ayah, karena ayah kini semakin sibuk, sebagai pengganti ibu”

Merekapun berpisah di gerbang Ma’had sambil melambaikan tangan, kemudian Andi menuju asrama menyusuri tepian lapangan Palagan Agung, melewati teman temanya yang telah selesai berolah raga, mereka riang gembira menuju asrama.

Setibanya di asrama Andi telah dinanti-nanti teman-temannya, “Lama amat, kemana aja sih, mana oleh-olehnya?” serentak sahabatnya menyambut kedatangan Andi. Sambil tersenyum kecil Andi memberikan bungkusan, dan berkata “Kalian dapat salam dari ayah saya,” serentak mereka menjawab “waalaikum salaam, terimakasih ya atas oleh-olehnya,” berhamburan mereka menuju kamar saling membagikan bingkisan dengan berdendang-dendang riang. Sementara Andi meninggalkan mereka menuju kursi belajar, duduk merenung sendiri.

Malam pun tiba, seluruh kamar-kamar di Asrama Al-Fajar telah mematikan lampu, sementara di luar hujan turun rintik-rintik. Tampak satu-dua butir air mata Andi menetes, terdengar do’anya “Ya Allah, kuatkan hati ayah dan adik-adikku, terimalah Ibuku di sisi-Mu. Ya Allah Ikhlaskan ayahku, beri kesabaran pada adik-adikku. Ya Allah, tabahkanlah keluargaku, ya Allah kuatkan hatiku, ya Allah…”Tiba-tiba turun hujan lebat. Tangis Andi pun meledak diantara 2 bantal

Pagi hari embun masih terus menetes, seperti hari-hari sebelumnya. hari ini Andi berangkat kesekolah berbaris rapi, gagah, walau sembab matanya. Andi kini bukan Andi yang lalu…

 Inalilahi wa ina ilaihi rojiun.. Semoga Andi menjadi anak yang Sholeh, Salam sayang dari Ustad untuk anak-anaku di Asramamu.